Dec 3, 2007

Ayu Bulantrisna Djelantik Menari, Otak Kiri dan Kanan Berjalan dengan Baik



Interview with Bali Post, 1 May 2005



Banyak orang mengenal Dr. dr. Ayu Bulantrisna Djelantik ini sebagai seorang dokter ahli THT dan bekerja di Badan Kesehatan Dunia WHO. Namun, banyak juga orang yang tidak mau mengenalnya sebagai dokter, melainkan sebagai mantan penari Legong yang jempolan. ''Saya tidak akan pernah lupa, semua itu karena berkah dari kakek,'' ujar cucu Raja Karangasem, putri pertama dari pasangan Dr. A.A. Made Djelantik dan Astri Zwart ini. Belajar menari serta langsung pentas pada usia tujuh tahun, ibu tiga anak dan nenek tiga cucu ini mengaku sering ''ketagihan'' menari di sela-sela kesibukannya di bidang medis. ''Kalau sudah menari, saya ketagihan, susah dihentikan,'' aku wanita kelahiran Nederland, 8 September 1947 ini. Berikut wawancara Bali Post dengannya.
-----------------
BAGAIMANA Anda tertarik menekuni seni tari khususnya Legong?
Boleh dibilang saya bermuka dua. Sebagian orang mengenal saya sebagai seorang dokter ahli THT dan bekerja di Badan Kesehatan Dunia WHO. Juga ada sekelompok orang yang tidak mau mengenal saya sebagai dokter, melainkan mengenal saya sebagai mantan penari Legong. Saya tidak akan pernah lupa, semua itu karena berkah dari kakek saya yang seorang Raja Karangasem. Beliau memiliki keinginan yang luhur, mengumpulkan semua cucunya untuk belajar tari. Beliau khusus mendatangkan seorang guru tari. Saya belajar menari saat umur tujuh tahun dan mulai pentas saat menginjak usia tujuh setengah tahun. Setelah belajar menari, ternyata sangat menyenangkan. Bahkan saya menjadi ketagihan, susah dihentikan. Walau sekarang sudah punya tiga cucu, saya tetap menari.

Tari apa yang pertama kali Anda pelajari?
Tari Condong Kebyar yang saat ini keberadaannya mungkin sudah punah. Tari Condong Kebyar mirip seperti Panjisemirang. Setelah mendapatkan tari Condong Kebyar, selanjutnya saya mempelajari berbagai jenis tari, termasuk tari Baris. Kalau pentas, saya menarikan Oleg Tamulilingan sebagi "laki"-nya, sedangkan yang menjadi "wanita"-nya adalah saudara sendiri. Saat itu ada tiga tarian yang sering saya pentaskan seperti Oleg Tamulilingan, Baris dan Condong Kebyar.

Ketika Anda masih anak-anak apa sudah sering pentas?
Ya. Umur sembilan tahun saya ikut bapak yang bertugas di London dan Belanda. Selama enam bulan saya bersekolah di sana. Diketahui bisa menari Bali, saya kemudian diminta untuk menghibur orang-orang di sana. Mendapat pentas di luar negeri, hati saya tentu menjadi senang. Dan saking senangnya, datang dari luar negeri saya mendalami tari Legong Peliatan, Ubud. Tidak hanya itu, saya juga sempat belajar pada Pak Kakul dan memperdalam tari Oleg Tamulilingan bersama Pak Mario. Memang beliau-beliau ini memberikan ilmunya secara profesional. Bahkan saya masih memiliki foto yang dipegang sama Pak Mario saat berlatih tari Oleg. Umur 10 tahun saya sudah dikenal sebagai penari Legong gaya Peliatan. Pada zaman Presiden Soekarno, saya sering diundang menari untuk menghibur tamu-tamu negara di Istana Presiden Tampaksiring, Gianyar. Lalu, setelah umur 12 tahun, saya diundang menari di Istana Presiden di Jakarta. Saat itu saya bergabung dengan salah satu grup kesenian dari Bali.

Bagaimana dengan studi atau pendidikan tinggi Anda?
Tahun 1965, saya ke Bandung melanjutkan kuliah kedokteran. Menariknya, walau dalam keadaan kuliah saya selalu diikutkan sebagai anggota misi kesenian tradisional Bali ke luar negeri. Misalnya ke Kamboja, Pakistan, Cina, Korea dan Jepang. Bahkan ini dilakukan berulang-ulang. Jadi sambil kuliah saya bisa mengikuti misi kesenian. Ya, untung saja saya diberikan izin khusus dari bapak Menteri Pendidikan saat itu, sehingga dekan di kampus saya juga ikut-ikutan memberikan izin. Walau meninggalkan kampus, tetapi saya tidak pernah lupa dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Agar tidak ketinggalan, di mana pun acara pentas saya selalu menyempatkan diri untuk membaca buku kedokteran yang tebal itu. Sebelum mendapat giliran pentas, saya belajar di belakang panggung. Terakhir, saya menari Expo di Osaka Jepang selama tiga bulan. Setelah menikah pada 1971, saya putuskan untuk berhenti menari. Ternyata tidak bisa. Ada saja yang membuat saya menjadi menari. Bahkan saat hamil empat bulan pun saya juga bisa menari.

* * *

ANDA tidak hanya menari, tetapi juga mendirikan sebuah bengkel tari yang mengumpulkan anak-anak muda untuk diajak berlatih tari khususnya Legong. Nah, mengapa Anda lakukan itu?
Selama itu saya selalu menjadi penari untuk orang lain. Tahun 1992, tiba-tiba timbul keinginan saya menari bukan untuk orang lain. Saya ingin memiliki grup kesenian sendiri yang bisa menampung penari-penari lain dan bisa berbuat sesuai dengan kemauan sendiri. Saya menampung anak-anak muda dari segala agama dan segala etnis untuk memperdalam tari Bali khususnya tari Legong. Dalam proses belajar ini saya memanggil seorang guru tari yang dapat memberikan segala macam tari Legong.

Setelah sanggar tari terbentuk, apa saja yang Anda lakukan?
Khusus untuk tari Legong, kami pernah mengadakan Pekan Apresiasi Legong di Bandung pada 1994. Dalam apresiasi ini merupakan pertama kali muncul dengan grup sendiri dengan nama Bengkel Tari Ayu Bulan. Sambil sibuk mempersiapkan acara itu, saya juga sedang mengikuti kuliah Doktor PSB di Belgia. Tentu sangat sibuk.

Dalam pekan apresiasi itu, mengapa mengambil tari Legong, bukan jenis yang lain?
Keinginan saya hanya memperkenalkan tari Legong. Saya melihat, banyak orang yang tidak mengenal Legong sesungguhnya. Namun, banyak yang menggunakan Legong sebagai ikon. Misalnya dipakai di postcard, poster, kalender termasuk juga di TV. Sesungguhnya mereka tidak mengerti apa makna dan apa maksud seni legong secara mendalam. Melalui apresiasi inilah saya ingin memperkenalkan Legong kepada semua orang, sehingga mereka menjadi tahu. Makanya, dalam apresiasi itu juga dilengkapi dengan diskusi yang menghadirkan pakar tari Bali seperti Bu Edy, Pak Dibia dan anak-anak muda yang menjadi sasarannya.

Menurut Anda, bagaimana perkembangan tari Legong di Bali sekarang?
Saya senang dengan makin banyaknya kreasi tari Legong. Berarti Legong makin digali dan disesuaikan dengan zamannya. Sayang sekali bahwa masih sangat langka penulis kritik seni tari. Padahal kritik itu dapat memberi penilaian suatu koreografi dan juga memberikan masukan yang mendidik masyarakat tentang berapresiasi seni.

Mempelajari berbagai Legong dari yang kuno hingga terbaru, apakah Anda merasakan ada perbedaannya?
Kalau perbedaannya, mungkin mengikuti perkembangan zaman. Legong yang sekarang sudah jelas berubah. Perubahan itu salah satunya disebabkan dengan adanya tata panggung dan sebagainya. Dulu, Legong ditarikan di bawah pohon bersamaan dengan upacara ritual. Tetapi sekarang sudah merupakan apresiasi seni sendiri yang ditampilkan di panggung untuk hiburan. Panggung sebagai tempat pentas juga mengalami perubahan. Kalau dulu berbentuk kalangan yang memanjang, tetapi sekarang sudah berbentuk stage yang melebar. Tetapi, biarkan saja, ini memang harus mengikuti zaman.

* * *

SELAIN menjadi penari, Anda juga seorang koreografer?
Saya merasa senang karena di luar Bali juga banyak ada kantong-kantong budaya yang mendalami Legong serta yang kreasi. Saya bukan sendiri menciptakan tari, tetapi kami buat beramai-ramai. Awalnya menunjukkan diri sebagai pencinta Legong (1994), kemudian menciptakan tari Legong Asmarandana (1996) dengan melibatkan sekitar 20 penari yang menceritakan bagaimana Dewa Asmara itu terbakar dan abunya menjadi bibit cinta yang kita kenal sekarang. Kemudian membuat Legong Witaraga yang koreografernya seorang STSI Bandung, sedangkan idenya dari saya. Bahkan tari ini sudah pernah dipentaskan di Jakarta dan Bandung. Legong Witaraga yang diciptakan pada 2002 menceritakan Arjunawiwaha yang memiliki nama lain Witaraga. Penarinya ada sekitar 20 orang yang penampilannya selalu berubah-ubah, tetapi tidak ada perubahan kostum. Kadang-kadang menjadi bidadari, atau menjadi Pandawa. Intinya, tampilannya abstrak. Dia berubah peran tetapi tidak mengganti kostum.

Sebagai seorang dokter, penari, pelatih serta koreografer bagaimana cara Anda mengatur waktunya?
Kalau mengatur waktu kan ada hari Minggu, ada Sabtu dan juga ada malam. Memang sekarang saya menjadi lebih sibuk. Mungkin dua-duanya tidak sempurna, tetapi dua-duanya tetap bisa jalan.

***

SEBAGAI orang puri yang sudah lama meninggalkan tanah kelahiran, bagaimana Anda melihat Puri Karangasem sekarang?
Saya hanya mau orang-orang Bali mengetahui bahwa Puri Karangasem sudah diganti dengan generasi muda yang sudah jauh dengan hal-hal yang feodal. Bahkan kami sudah hidup di dunia lain, tidak seperti dulu atau pada zaman kakek. Mudah-mudahan makin lama masyarakatnya makin demokratis. Hal ini juga bisa dilihat pada ayah saya sebagai bagian generasi di bawah raja yang sudah tidak menyenangi hal-hal yang feodal itu. Kekuasaan oleh seorang raja itu tidak ada sama sekali, walaupun feodal dalam bentuk lain itu masih ada. Hanya sekarang pelan-pelan kekuasaan itu harus pindah ke rakyat. Sebagai keluarga puri, saya sangat menyadari sekali. Dan yang sangat terkesan adalah sifat adilnya. Buktinya dari zaman tante saya, semua anak yang perempuan disekolahkan juga. Boleh sekolah ke Jawa ataupun di Bali. Diberikan kesempatan itu, akhirnya banyak yang menjadi wanita sukses, seperti ada yang menjadi ahli filsafat dan ada anak perempuan menjadi salah satu hakim agung senior di Jakarta. Jadi kakek saya tidak pernah membeda-bedakan anaknya.

Lalu, kenapa Anda memilih menjadi dokter?
Lucu sekali itu. Dulu saya melihat kakak-kakak Legong itu pada umur-umur tertentu berhenti menari karena kawin, kemudian membuat warung kopi. Sehingga banyak yang mengatakan pedagang itu mantan penari Legong. Hal ini hampir semua dilakukan oleh kakak-kakak Legong generasi sebelum saya. Dengan kejadian itu saya ingin menunjukkan bahwa penari itu bukan orang bodoh. Bahkan penari itu adalah orang yang sangat berisi. Jadi saya tidak menghalangi diri untuk bersekolah terus. Bahkan saya merasakan dengan menari pelajaran itu bisa lebih maju. Buktinya, dulu saya pernah menjadi bintang pelajar SMP se-Bali. Dengan menari, selain otak kiri, otak kanan juga berjalan dengan baik. Anehnya, kalau malamnya menari besoknya saya pasti mendapat nilai sepuluh. Padahal tidak dapat tidur. Saat menjadi siswa SMA, saya kembali dicalonkan menjadi bintang pelajar. Tetapi sayang, pada saat itu saya harus berangkat ke luar negeri membawa misi kesenian. Atau menjadi dokter mungkin juga karena saya sebagai anak pertama yang harus bertanggung jawab atau mungkin juga karena ayah saya juga seorang dokter.

* pewawancara: budarsana

No comments: